Andre Kurniawan
Jenangbledeg - Apabila kita mendengar kata wani, yang pertama kali terbesit di kepala adalah klub Persebaya Surabaya. Apabila kita mendengar kata ewako, yang pertama kali terbesit adalah klub PSM Makassar. Sama halnya dengan sakjose milik Persis Solo, yoh iso yoh milik PSIS Semarang, manyala milik Borneo FC, kito pacak milik Sriwijaya FC, lantak laju milik Persiraja, djajati milik Persik kediri dan masih banyak lagi yang lainnya. Semua itu merupakan jargon-jargon klub di Indonesia dengan ciri khas kearifan lokal dari daerah masing-masing
Bagaimana dengan Persiku Kudus? Jawabannya adalah tidak ada.
Seolah tidak berpendirian dan tidak punya jatidiri, dari musim ke musim jargon yang diusung selalu berganti-ganti. Setiap berganti manajemen, berganti pula jargon yang digembar-gemborkan. Sempat muncul jargon Persiku masa depan, namun faktanya saat itu Persiku sedang di masa suram. Muncul pula jargon Persiku juara, namun faktanya saat itu Persiku gagal juara. Terakhir, ada jargon mainstream sejuta umat, yakni Persiku bisa. Beruntung di musim lalu jargon tersebut terselamatkan karena Persiku bisa naik kasta sesuai dengan jargon yang diusung.
Di musim ini terindikasi jargon kembali berubah menjadi Persiku hebat. Jargon tersebut terpantau mulai digaungkan oleh para pemain dan pelatih saat Persiku melakukan trial di Lapangan Tanjung Karang beberapa waktu yang lalu. Memang, fungsi jargon merupakan sebuah penyemangat dan harapan. Namun, mengapa harus selalu berganti? Se-labil itukah? Apalagi jargon yang digaungkan selama ini hanya menggunakan bahasa yang amat sangat general dan mainstream. Lalu dimana identitasnya? Dimana kearifan lokalnya? Dimana khas kekudusan-nya?
Padahal, bahasa jawa logat Kudus merupakan sesuatu yang unik dan punya ciri khas. Apabila kita menyelami lebih dalam pasti akan ada sisi menarik yang mungkin jarang dipunyai oleh daerah lain. Misalnya Persiku teteg (teguh/konsisten), Persiku cag ceg (satset/gerakan cepat), Persiku meroi (pokoknya bisa), Persiku pengkoh (kuat) , Persiku giras (galak/sangar), Persiku maliter (gaya/dermawan) , Persiku andik (pintar/lihai), Persiku bentir (terang/menyala), Persiku tudoh (setimpal) atau bahkan kata sengkuyung bareng yang digaungkan oleh suporter di musim lalu pun bisa pula dijadikan pertimbangan. Itu semua hanya sekedar contoh jargon dengan menggunakan bahasa khas daerah yang mungkin bisa menjadi alternatif pilihan dalam mematenkan jargon resmi klub.
Jargon menjadi amat sangat penting karena menyangkut branding sebuah klub dimata khalayak luas. Jargon tidak hanya sebagai formalitas semata. Selain sebagai penyemangat saat berlatih maupun bertanding, jargon biasanya juga disematkan di jersey pemain, kaos, stadion, spanduk, maupun media sosial klub. ini menjadi sesuatu yang lumah bagi tim sepakbola baik di dalam maupun di luar negeri.
Namun, apabila pihak manajemen masih bingung dalam memutuskan jargon resmi, masih banyak cara yang bisa dilakukan manajemen supaya Persiku dapat mempunyai jargon yang benar-benar paten dan abadi. Seperti melakukan konsultasi dengan para tokoh, ahli bahasa, ataupun melakukan sayembara ke penggemar, dan lain sebagainya. Musim ini adalah saatnya Persiku memiliki jargon dengan ciri khas sendiri. Masih ada waktu bagi manajemen untuk memikirkan lalu melaunching jargon klub yang baru secara resmi.
