Jenangbledeg - Musik adalah seni menyusun bunyi, sedangkan sepak bola merupakan seni menyusun strategi. Keduanya memiliki hubungan yang cukup mesra dan saling berkaitan. Dimana ada
sepakbola disitu pasti ada musik. Selalu ada yang berhubungan dengan musik di setiap berlangsungnya pertandingan sepakbola. Contoh paling sederhana yakni keberadaan theme
song sebagai menu wajib di sebuah event besar seperti Piala Dunia, Euro,
Piala Asia dan lain-lain. Belum lagi di berbagai event yang lingkupnya
lebih kecil. Ada pula prosesi masuknya pemain dari dua kesebelasan, wasit beserta
perangkat pertandingan menuju ke lapangan yang selalu diiringi musik FIFA anthem,
AFC anthem dan anthem federasi lainnya. Setelah itu, wajib hukumnya
menyanyikan lagu kebangsaan masing-masing negara sebelum pertandingan, khusus di
pertandingan sepakbola antar negara. Lalu yang tak kalah penting adalah nyanyian
atau yel-yel yang dikreasikan oleh para fans atau suporter yang menggema
di stadion dengan tujuan untuk memompa semangat pemain, dan masih banyak lagi.
Kaum suporter lebih suka menyebut yel-yel atau nyanyian yang mereka kumandangkan dengan istilah chant. Chant biasa di kumandangkan secara berkelompok atau massal di kala pertandingan berlangsung. Bisa hanya dengan iringan tepuk tangan maupun dengan iringan alat musik. Hampir semua pendukung tim kesebelasan yang sedang bertanding di stadion membekali diri mereka dengan hafalan chant dan alat musik, baik lagu yang digubah sendiri oleh komunitasnya maupun mengadopsi karya yang sudah ada.
Lingkungan sepakbola Kudus meskipun bukan pionir dalam urusan bermusik di Indonesia, setidaknya Kudus punya cerita tersendiri yang sangat menarik untuk diulas dalam hal kreatifitas bermusik dalam lingkup sepakbola. Musik di lingkup sepakbola Kudus sudah ada seja era Perserikatan, tepatnya pada sekitar awal tahun 90-an ketika Persiku berkutat di kompetisi Divisi II Perserikatan. Di pentas peserikatan, musik sudah menggaung di telinga orang yang berada di stadion Wergu Wetan saat menyaksikan Persiku bertanding. Sekelompok orang tampak menyanyikan yel yel dan teriakan sambil menabuh alat musik perkusi seperti snare, tom dan bass drum. Sayup sayup nyanyian dan tabuhan perkusi kerap terdengar di tribun barat stadion Wergu Wetan (sekarang tribun VIP) walaupun hanya bersifat spontan dan belum terorganisir dengan baik.
Seiring perkembangan prestasi Persiku yang semakin membaik, juga diiringi dengan perkembangan alat musik pendukung di stadion yang semakin variatif. Di pentas Liga Indonesia I atau Liga Dunhill musim 1994-1995 tidak hanya seperangkat perkusi saja yang dimainkan. Pendukung Persiku sesekali memamerkan kreatifitas saat mendukung tim kesayangannya dengan menggunakan alat musik tradisional. Musik cokekan dan musik gamelan Bali kadangkala bisa dijumpai di sudut stadion Wergu Wetan ketika Persiku menjalani laga home. Cukup unik memang dan hal tersebut bisa dibilang sangat wajar, mengingat tahun 1994-1995 merupakan puncak dari prestasi dan gairah sepakbola Kudus dan berefek pula terhadap gairah masyarakat Kudus yang ingin berbondong-bondong mengekspresikan diri mereka di panggung sepak bola nasional. Bahkan saking antusiasnya, suatu ketika pernah ada gerakan sekelompok suporter Persiku yang berinisiatif memboyong kelompok pemusik lengkap dengan alat musiknya ke mess dan hotel tempat pemain Persiku menginap untuk sekedar menjalin keakraban antara fans dan pemain, menghibur para pemain dan merayakan kemenangan pasca pertandingan. Namun, sangat disayangkan atmosfer positif tersebut hanya bertahan satu musim saja, mengingat di musim berikutnya Persiku memutuskan mengundurkan diri dari liga.
Memasuki dekade pertama tahun 2000, musik perkusi masih menjadi andalan dalam pendukung tim kesebelasan. Bedanya, mulai ada variasi baru dengan penambahan alat musik terompet sebagai pelengkap. Penerapannya hampir mirip seperti pertunjukan marching band namun dibarengi dengan teriakan chant secara bersama-sama. Sejak tahun 2005, jenis musik tersebut dimainan oleh dua kelompok suporter. Dentuman musik perkusi dan sayup-sayup bunyi terompet terdengar dari tribun sebelah barat dan tribun timur. Terdapat pemandangan yang cukup unik sekaligus ekstrem, adalah adanya serangkaian terompet yang dibunyikan menggunakan alat bantu kompresor oleh sekelompok pendukung yang biasanya berada disudut tribun terbuka sebelah barat. Tentu tidak bisa dibayangkan betapa bisingnya suasana stadion kala terompet tersebut dibunyikan. Keberadaan terompet dan para peniupnya dalam menyemarakan pertandingan tidak bertahan lama dan lambat laun mulai hilang seiring dengan terus merosotnya prestasi Persiku. Hanya kebisingan terompet “kompresor” yang masih bisa kita dengarkan setidaknya hingga musim 2019 kemarin.
Pada awal dekade 2000 ini pula para pendukung kesebelasan Persiku banyak dipengaruhi oleh lagu-lagu yang mainstream di kalangan suporter Indonesia di masanya. Kala itu chant dari kelompok suporter asal Jakarta masih menjadi kiblat dan paling sering diadopsi oleh kelompok suporter hampir di seluruh Indonesia, termasuk di Kudus. Namun sangat disayangkan, tahun-tahun tersebut terdapat beberapa chant yang kesannya "diselewengkan". Ada beberapa Chant yang sifatnya bukan untuk menyemangati, tapi justru mengintimidasi. Chant-chant yang berbau intimidasi pada saat itu menjadi hal yang lumrah. Lirik seperti “dibunuh saja”, as*, janc*k menjadi hal kurang elok ditelinga namun menjadi hal yang dianggap wajar pada saat itu. Chant-chant intimidatif bahkan semakin lantang terdengar ketika berlangsung pertandingan derby. (bersambung)
Kaum suporter lebih suka menyebut yel-yel atau nyanyian yang mereka kumandangkan dengan istilah chant. Chant biasa di kumandangkan secara berkelompok atau massal di kala pertandingan berlangsung. Bisa hanya dengan iringan tepuk tangan maupun dengan iringan alat musik. Hampir semua pendukung tim kesebelasan yang sedang bertanding di stadion membekali diri mereka dengan hafalan chant dan alat musik, baik lagu yang digubah sendiri oleh komunitasnya maupun mengadopsi karya yang sudah ada.
Lingkungan sepakbola Kudus meskipun bukan pionir dalam urusan bermusik di Indonesia, setidaknya Kudus punya cerita tersendiri yang sangat menarik untuk diulas dalam hal kreatifitas bermusik dalam lingkup sepakbola. Musik di lingkup sepakbola Kudus sudah ada seja era Perserikatan, tepatnya pada sekitar awal tahun 90-an ketika Persiku berkutat di kompetisi Divisi II Perserikatan. Di pentas peserikatan, musik sudah menggaung di telinga orang yang berada di stadion Wergu Wetan saat menyaksikan Persiku bertanding. Sekelompok orang tampak menyanyikan yel yel dan teriakan sambil menabuh alat musik perkusi seperti snare, tom dan bass drum. Sayup sayup nyanyian dan tabuhan perkusi kerap terdengar di tribun barat stadion Wergu Wetan (sekarang tribun VIP) walaupun hanya bersifat spontan dan belum terorganisir dengan baik.
Seiring perkembangan prestasi Persiku yang semakin membaik, juga diiringi dengan perkembangan alat musik pendukung di stadion yang semakin variatif. Di pentas Liga Indonesia I atau Liga Dunhill musim 1994-1995 tidak hanya seperangkat perkusi saja yang dimainkan. Pendukung Persiku sesekali memamerkan kreatifitas saat mendukung tim kesayangannya dengan menggunakan alat musik tradisional. Musik cokekan dan musik gamelan Bali kadangkala bisa dijumpai di sudut stadion Wergu Wetan ketika Persiku menjalani laga home. Cukup unik memang dan hal tersebut bisa dibilang sangat wajar, mengingat tahun 1994-1995 merupakan puncak dari prestasi dan gairah sepakbola Kudus dan berefek pula terhadap gairah masyarakat Kudus yang ingin berbondong-bondong mengekspresikan diri mereka di panggung sepak bola nasional. Bahkan saking antusiasnya, suatu ketika pernah ada gerakan sekelompok suporter Persiku yang berinisiatif memboyong kelompok pemusik lengkap dengan alat musiknya ke mess dan hotel tempat pemain Persiku menginap untuk sekedar menjalin keakraban antara fans dan pemain, menghibur para pemain dan merayakan kemenangan pasca pertandingan. Namun, sangat disayangkan atmosfer positif tersebut hanya bertahan satu musim saja, mengingat di musim berikutnya Persiku memutuskan mengundurkan diri dari liga.
Memasuki dekade pertama tahun 2000, musik perkusi masih menjadi andalan dalam pendukung tim kesebelasan. Bedanya, mulai ada variasi baru dengan penambahan alat musik terompet sebagai pelengkap. Penerapannya hampir mirip seperti pertunjukan marching band namun dibarengi dengan teriakan chant secara bersama-sama. Sejak tahun 2005, jenis musik tersebut dimainan oleh dua kelompok suporter. Dentuman musik perkusi dan sayup-sayup bunyi terompet terdengar dari tribun sebelah barat dan tribun timur. Terdapat pemandangan yang cukup unik sekaligus ekstrem, adalah adanya serangkaian terompet yang dibunyikan menggunakan alat bantu kompresor oleh sekelompok pendukung yang biasanya berada disudut tribun terbuka sebelah barat. Tentu tidak bisa dibayangkan betapa bisingnya suasana stadion kala terompet tersebut dibunyikan. Keberadaan terompet dan para peniupnya dalam menyemarakan pertandingan tidak bertahan lama dan lambat laun mulai hilang seiring dengan terus merosotnya prestasi Persiku. Hanya kebisingan terompet “kompresor” yang masih bisa kita dengarkan setidaknya hingga musim 2019 kemarin.
Pada awal dekade 2000 ini pula para pendukung kesebelasan Persiku banyak dipengaruhi oleh lagu-lagu yang mainstream di kalangan suporter Indonesia di masanya. Kala itu chant dari kelompok suporter asal Jakarta masih menjadi kiblat dan paling sering diadopsi oleh kelompok suporter hampir di seluruh Indonesia, termasuk di Kudus. Namun sangat disayangkan, tahun-tahun tersebut terdapat beberapa chant yang kesannya "diselewengkan". Ada beberapa Chant yang sifatnya bukan untuk menyemangati, tapi justru mengintimidasi. Chant-chant yang berbau intimidasi pada saat itu menjadi hal yang lumrah. Lirik seperti “dibunuh saja”, as*, janc*k menjadi hal kurang elok ditelinga namun menjadi hal yang dianggap wajar pada saat itu. Chant-chant intimidatif bahkan semakin lantang terdengar ketika berlangsung pertandingan derby. (bersambung)
by: Andre Kurniawan
MUSIK DAN SEPAKBOLA KUDUS (PART I)
Reviewed by jenang bledeg
on
April 08, 2020
Rating:
