Jenangbledeg - Beberapa waktu yang lalu seringkali terdengar pemberitaan mengenai dua kubu yang bertetangga. Sebut saja si biru dan si merah. Mirisnya, pemberitaan dua kabupaten bertetangga ini cenderung ke arah pemberitaan miring. Ada apa sebenarnya?
Rivalitas si biru dan si merah sudah terendus sejak era perserikatan. Persisnya pada kompetisi amatir perserikatan era 80-90 an, dimana adu gengsi si biru dan si merah tidak hanya terjadi di tingkat bawah (penikmat sepak bola). Gengsi bahkan merambat ke segala lini termasuk orang-orang atas (pengelola & pemangku kebijakan). Kenapa orang atas turut adu gengsi? Karena kompetisi perserikatan menonjolkan sisi fanatisme kedaerahan yang sangat tinggi. Tak heran orang-orang atas dari kedua kubu saat itu saling ber-rivalitas, adu gengsi, adu pencapaian.
Bahkan adu gengsi merambah ke pribadi seorang pemain. Para pemain di era perserikatan mengaku rela tidak digaji asal diberi kepercayaan untuk membela tim daerahnya. Prinsipnya, suatu kebanggaan tak terkira apabila si pemain diberi kesempatan untuk membela tim perserikatan di daerah asalnya. Itulah sedikit gambaran mengenai kultur fanatisme kedaerahan yang sangat kental dalam kompetisi perserikatan pada waktu itu.
Alhasil, apa dampak yang ditimbulkan? Dampak dari sisi prestasi sangat positif. Walaupun dalam catatan sejarah si merah lebih lama bertengger di kompetisi kasta tertinggi, namun si biru boleh sedikit berbangga. Setidaknya si biru yang lebih awal menapaki kasta tertinggi pada Liga Indonesia I musim 1994/1995. Sedangkan di musim yang sama si merah justru masih berkutat di kompetisi kasta kedua.
Secara tidak langsung, keberhasilan si biru ke kasta tertinggi musim 1994/1995 menjadi penanda reda nya rivalitas biru-merah. Kenapa bisa mereda? Ada beberapa faktor. Faktor pertama, perbedaan kasta selama belasan tahun membuat kedua tim jarang bertemu. Faktor selanjutnya, seiring berjalannya waktu, kedua tim ternyata punya rival anyar. Si merah punya rival baru sebut saja si biru pesisir dan si biru punya rival baru yakni si oren.
Era sudah berganti. Semenjak munculnya peraturan larangan penggunaan APBD dalam kegiatan sepakbola profesional, hampir semua tim eks Perserikatan yang ada di Indonesia mengalami masa sulit. Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2011, klub profesional dilarang untuk menggunakan dana APBD. Tidak terkecuali si merah dan si biru. Pasca dikeluarkannya peraturan tersebut, defisit keuangan, Kesulitan finansial, keterlambatan gaji pemain menjadi judul mainstream di berbagai macam pemberitaan media.
Keadaan tersebut membuat orang-orang atas dalam sebuah tim mau tidak mau harus berani keluar dari zona nyaman. Berani menerjang derasnya ombak dan ganasnya badai jika masih ingin berlayar di kompetisi profesional, dengan menggandeng pihak sponsorship atau pihak swasta lainnya.
Apa yang dilakukan si biru dan si merah?
Pertama, mari kita tengok si merah terlebih dahulu. Walau sempat terhantam berbagai bencana seperti badai degradasi, dualisme liga, gonjang-ganjing di internal klub, setidaknya si merah sudah berusaha untuk bangkit menapaki pengelolaan menuju klub modern. Pondasi modernisasi dalam pengelolaan sudah terlihat. Investor mulai masuk baik investor lokal maupun asing, laki-laki maupun perempuan datang silih berganti. Nahkoda beserta awak kapal pun juga silih berganti.
Bagaimana dengan si biru? Pasca keluarnya peraturan Mendagri, upaya membentuk badan hukum swasta berbentuk PT sudah pernah terlaksana ketika si biru berlaga di Divisi Utama. Tapi, tragedi terdampar ke zona merah musim 2014, tampaknya menjadi bencana besar yang tak kunjung selesai bagi si biru. Si biru tampak sudah terlalu nyaman & pasrah di camp pengungsian. Camp pengungsian yang kumuh namun selalu mendapatkan sumbangan dan hibah khusus dari pemerintah setempat. Si biru seolah berat untuk beranjak dari sana.
Lantas, apa tanggapan pecinta sepak bola kabupaten biru mengenai prestasi kabupaten merah yang berhasil naik kasta tahun ini?
Tenang, sebetulnya fans si biru tidak perlu kemropok. Anggap biasa wae karena memang harus diakui secara pengelolaan & insfrastruktur si merah lebih siap bahkan sudah sangat siap dan layak atas segala pencapaian yang diraih di tahun ini.
Percayalah, Rivalitas bawah (antar suporter) untuk mencari pengakuan siapa yang paling baik tidak akan pernah menghasilkan apa-apa selain pertengkaran dan perpecahan.
Lalu?
Sudah cukup orang bawah dikorbankan. Orang bawah sudah terlalu banyak berkorban. Berkorban atas nama cinta & kebanggaan. Orang bawah sudah berjuang sebagaimana mestinya.
Bila bercermin dari sejarah, bagaimana kalau kembali ke model rivalitas 80-90 an saja? begini.. alihkan saja ke atas rivalitas biru-merah ini. Biarkan pihak atas (pengelola & pemangku kebijakan) yang bentrok. Dalam arti lain, biarkan orang-orang atas yang ber-rivalitas, adu gengsi, adu pencapaian. Jika dari pihak atas masih punya gengsi, seharusnya pihak atas dari si biru malu atas pencapaian si merah tahun ini, seharusnya.
mafia diluar sana saling lempar taruhan, orang-orang atas saling lempar kepentingan, sedangkan orang-orang bawah masih saja saling lempar provokasi, lempar batu, lempar ujaran kebencian? Hey bung! mau sampai kapan? Apa harus menunggu adanya korban jiwa?
Negara ASEAN di luar sana sudah menuju sepak bola industri. Sedangkan sepakbola kita juara AFF saja masih mimpi belaka. Perubahan menuju sepak bola Indonesia yang lebih baik bisa dimulai dari diri kita sendiri. Ayo berubah!
By : Andre
SI MERAH JUARA, SI BIRU: "BIASA WAE!"
Reviewed by jenang bledeg
on
Desember 30, 2019
Rating:
