Faozie Ramadhan
![]() |
Pemain Persiku Anam sedang coba melewati dua pemain Barito Putera Foto: 911 Photography |
Sore itu, langit kudus cerah. Angin lewat membawa debu bertebaran di sepanjang jalan menuju Stadion Wergu Wetan, datang pula rasa cemas yang muncul dari klub yang malang melintang di kasta teratas persepakbolaan Indonesia.
Orang-orang mulai datang. Anak-anak muda berkumpul di pinggir stadion, bapak-bapak dengan topi 'tayumen' dan rokok yang nyala setengah. Mereka masuk dan duduk di tribun dengan kebimbangan antara yakin dan pasrah. Ya, Persiku Kudus main lawan Barito Putera. Lawan berat. Mantan Tim Liga 1. Tapi mereka tetap juga datang, karena begitulah cinta: kadang bodoh, tapi tak bisa ditinggal.
Kick off dimulai. Sorak penonton pecah, dan untuk beberapa menit, semua terasa mungkin. Persiku berani menekan, beberapa peluang terjadi di awal pertandingan meski tak jarang bola mental di kaki lawan.
Skor masih 0–0 sampai di ujung babak pertama Dave Mustaine, salah satu motor serangan mendapat kartu merah karena menyikut pemain lawan.
Beberapa di tribun saling menepuk bahu,
“Lumayan jane, iso nahan, tapi malah kartu abang” kata mereka.
Ada tawa kecil, tapi juga pandangan kosong ke langit sore.Babak kedua mulai. Menit ke-61, umpan silang datang dari sisi kanan. Fabiano Beltrame menyundul pelan—gol. Tidak ada yang berteriak, hanya suara speaker menyebut nama pencetak gol, sementara di tribun, satu dua orang masih berdiri, tidak tahu mau duduk atau marah. Seseorang berbisik, “Yo wis, Barito kuwi… ora gampang.”
Tertinggal, Persiku terus mencoba berbagai cara untuk mengimbangkan kedudukan, beberapa pergantian dilakukan oleh Alfiat Sang Juru Racik. Waktu terus berjalan dan gol penyeimbang tak kunjung datang membawa suasana tribun menjadi suasana yang panik dan membingungkan. Ditambah beberapa keputusan wasit yang dirasa agak janggal, belum lagi kaki keram wasit di saat tempo penyerangan sedang disusun. Menit 90+12, wasit berlari ke arah layar kecil di samping lapangan, priiiitttt, penalti. Jaime Moreno maju. Satu langkah, tembak. Gol lagi. 0–2. Beberapa suporter menunduk. Ada yang diam. Ada yang memukul pagar tribun pelan, ada yang marah, banyak yang bingung.
Setelah peluit panjang, orang-orang pelan-pelan bubar. Suara drum redup dan langit makin gelap. Seorang laki-laki bertanya ke pada orang disampingnya,
“Mas, iki piyee?”
Orang disampingnya tersenyum, tapi matanya tidak ikut tersenyum.
“Mungkin besok,” katanya, meski ia sendiri tidak yakin ada besok yang manis untuk tim ini.
Di luar stadion, penjual Tahu Persiku membereskan gerobaknya, tukang parkir menghitung recehan, dan sekelompok remaja masih berdiskusi, membahas peluang, formasi, dan alasan mengapa nasib selalu tidak adil.
Persiku kalah, tapi yang lebih terasa bukan kalahnya, melainkan sepinya harapan setelah sorak-sorai berhenti.
Kudus malam itu tenang, tapi tenang yang aneh, tenang yang terasa seperti menyerah pelan-pelan.
Namun besok, ketika matahari naik dan berita pertandingan sudah basi, mereka akan tetap bicara tentang Persiku. Di warung kopi, di grup WhatsApp, di pinggir jalan. Bukan karena yakin, tapi karena tidak tahu cara lain selain tetap percaya.
